Persoalannya sekarang tidak lagi terletak pada market. Tapi, lebih pada people.
Orang bijak berkata, bacalah tanda-tanda zaman bila ingin tetap hidup. Demikian pula bagi seorang marketer. Dia harus mempunyai cara pandang yang dinamis karena pasar juga dinamis. Dunia kini bergerak kian cepat. Anthony Giddens menyebutnya sebagai a run away world, dunia yang tunggang langgang.
Dalam kondisi seperti itu, pakar manajemen Rhenald Kasali mengingatkan para marketer agar bisa memahami zaman. Ia menegaskan bahwa para marketer tidak boleh mendewakan konsep-konsep marketing lama. “Banyak ilmu yang kita dewakan. That is necessary, but not sufficient. Konsep-konsep lama tetap perlu, tapi tidak mencukupi,” katanya.
Rhenald mengaku belum melihat ada sesuatu yang baru dalam marketing. Kondisinya masih stagnan. Menurutnya, ada sesuatu yang harus diperhatikan oleh banyak marketer, yakni perubahan (change). Menyitir pendapat Jagdish Sheth, penulis buku Self Destructive Habits of Companies, Rhenald mengatakan, kini bukan zamannya lagi fokus pada the way to deliver message atau the way to manipulate consumers. “Sekarang ini, marketing problemnya bukan terletak pada customer. Tapi, ada di dalam corporate atau pelakunya.”
Ia menuturkan, makin besar perusahaan, makin hierarkis pula perusahaan itu. Perusahaan yang makin hierarkis cenderung membuat orang-orang di perusahaan itu sulit membaca perubahan pasar. Apalagi konteks zaman ini sudah serba digital. “Contohnya, penguasa energi terbesar sekarang tidak lagi Exxon Mobil dan sebagainya. Tapi, investment bankers yang memperlakukan minyak sebagai bursa komoditi atau seperti harga saham,” katanya.
Bagaimana kita mengendus semua ini? Menurut Rhenald, marketer butuh cara-cara berpikir baru. Jagdish Sheth mendeskripsikan adanya tujuh penyakit yang menghancurkan perusahaan-perusahaan bagus. Pertama, the “cocoon” of denial. Orang menemukan, mengakui, menghitung, dan malah meninggalkannya. Kedua, the stigma of arrogance. Orang-orang arogan cenderung tidak mau belajar lagi. Ketiga, comfort zone. Orang lebih senang berdiam diri bila sudah memasuki tahap mapan.
Keempat, masalah teritori (the territorial impulse). Orang merasa menguasai teritorinya sehingga orang lain tidak boleh masuk. Kelima, obsesi terhadap volume (the obsession of volume). Orang terobsesi memiliki sebanyak-banyaknya dan menguasai seluas-luasnya. Termasuk menguasai negara, pulau, dan dunia. “Jadi, larinya ke market share dan menjadi pelaku yang dominan di pasar. Padahal bukan pelaku dominan dari segi kekuasaan, tapi dari segi keuntungan,” katanya.
Keenam, ketergantungan pada kompetensi yang sudah tidak cocok lagi dengan zaman (the curse of incumbency). Misalnya, dulu negara komunis mempunyai orang-orang yang tergantung pada cara berpikir komunis. Sekarang yang terjadi sudah serba paradoksal. Partainya komunis, tapi cara berpikir orang-orangnya kapitalis. Jadi, kita tidak bisa mengandalkan kemampuan-kemampuan kita di masa lalu. Ketujuh, ada kecenderungan orang melihat pasar secara sempit (the threat of myopia).
Jagdish Sheth melihat semua persoalan itu bukan pada market, tapi pada resources. Menurut Rhenald, hal ini yang menyebabkan ilmu marketing terbagi dua, yakni market base dan resource base. Perkembangan sekarang yang paling maju ada di resource base. “Jadi, resource kitalah yang bermasalah. Bukan di market. Bisa jadi, kalau dibikin dalam satu atau dua buah kata, konsep marketing sekarang adalah marketing change. Kurang lebih seperti itu. Itu yang saya lihat,” tandasnya.
Rhenald melihat konsep lama marketing masih mengarah pada pasar, seperti experiential marketing, blue ocean, dan sebagainya. “Nah, sekarang orang masuk ke resource base. Pentingnya kita menata kembali manusia dan organisasi dalam mengepung pasar,” katanya.
Oleh karena itu, langkah yang perlu diambil oleh marketer adalah me-redesign organisasi dan men-training kembali SDM atau membuat generasi baru dalam industri. “Pada kenyataannya, generasi baru masuk dengan nilai dan cara berpikir yang sama sekali berbeda dengan yang sudah ada,” katanya.
Market sekarang sudah terbelah menjadi dua, yakni old generation dan native digital. Sebutan native digital mengacu pada generasi muda sekarang yang kehidupannya dikepung oleh produk dan sistem digital. Rhenald menyebut dengan generasi yang dilahirkan dari mouse di tangan kanannya. Dunia generasi ini ditandai dengan proses super cepat. “Mereka sudah tidak bisa dibohongi lagi dengan brand. Mereka dunianya sudah tidak terkotak dengan dunia mereka. Mereka sudah menembus berbagai garis batas dan serba cepat. Mainan mereka juga berbeda. Mainan mereka semua serba digital,” imbuhnya.
Untuk menjembatani antargenerasi, Rhenald mengajak perusahaan untuk melibatkan banyak orang muda dalam perusahaannya. “Intinya, persoalan marketing sekarang tidak lagi terletak di pasar. Tapi, how to take the people. Merombak jajaran birokrasi kita jauh lebih penting daripada kita membuat iklan di televisi,” tandasnya.
Sigit Kurniawan | Majalah Marketing Oktober 2008 | Foto:nina-tara.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar