05 Mei 2008

Kedainya "Mengalir" Sampai Jauh

Dengan mengusung bendera lokal, Bengawan Solo Coffee nekat “bertempur” di bisnis kopi yang ramai dengan merek-merek asing. Kini, sudah ada permintaan waralaba dari mancanegara. Seperti apa sepak terjangnya?

Bisnis kopi kian marak. Di berbagai sudut jalan di kota besar terserak kedai-kedai kopi dengan beragam merek. Baik merek lokal maupun internasional. Eksistensi kopi seolah abadi. Di setiap peradaban, kopi selalu ada.

Di tengah bisingnya bisnis kopi itulah, Ipeng Widjodjo memberanikan diri memutar roda bisnis dengan bendera Bengawan Solo Coffee pada 18 Mei 2003. “Secara tidak sengaja, kami hadir satu tahun satu hari setelah kedai Starbucks dibuka pertama kali di Indonesia,” katanya.

Kecintaannya pada kopi tidaklah turun dari langit. Ipeng memang dibesarkan dari keluarga juragan kopi. Orangtuanya berbisnis kopi, tepatnya trading biji kopi, selama 30 tahunan. Dari merekalah Ipeng memperoleh pengetahuan tentang kopi. Namun, pada awal tahun 2000, harga kopi dunia anjlok. Marjin menjadi tipis sekali.

“Menyikapi hal itu, kami memikirkan konsep bisnis kopi yang lebih menguntungkan. Akhirnya, kami memilih konsep bisnis kedai kopi. Pertimbangannya, kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup zaman sekarang. Ada banyak nilai tambah dan marjinnya lumayan,” lanjutnya.

Merek “Bengawan Solo” sengaja dipilih karena Ipeng ingin mengibarkan bendera lokal. Dengan merek ini, Ipeng optimis kedai kopinya bakal mudah dikenali orang. Apalagi masih jarang ada merek lokal di bisnis ini. Selain itu, nama Bengawan Solo sudah populer di banyak kalangan, termasuk mancanegara, karena lagu Bengawan Solo gubahan seniman Gesang. Bahkan, pada awal-awal tahun mereka berdiri, sudah ada stasiun televisi swasta Jepang meliput kedainya. “Seperti halnya Sungai Bengawan Solo yang mengalir panjang, kami berharap Bengawan Solo Coffee mempunyai masa depan yang panjang dan bisa dikenal di mana pun,” katanya.

Kedai pertama dibuka di ITC Kuningan. Kedai tersebut merupakan langkah awal sebelum menjajaki wilayah mal. “Kebetulan mal ini sangat ramai. Lebih-lebih kopi sudah sangat populer. Kami bermain di harga dan cita rasa. Kami optimis keduanya sangat mengena,” imbuhnya.

Namun, tidak ada usaha bisnis yang berjalan lurus tanpa mengenyam suka dan duka dalam menembus pasar. Apalagi pasarnya sudah disesaki banyak pemain. “Pertama kali, kami berusaha meyakinkan customer untuk mencoba sendiri. Ini sebuah coffee brand yang dibilang baru. Kami mengusahakan setiap kedai ramai dengan pengunjung. Orang lebih terdorong mampir kalau kedai itu dipadati pengunjung. Maka, initial opening kami bikin semeriah mungkin,” ungkap Ipeng.

Dari sisi produk, Bengawan Solo hampir sama dengan international coffee shop lainnya. Sebagian besar berbasiskan espresso yang tersaji dalam bentuk panas dan dingin dalam beragam gaya. Sebut saja Black Coffee, Vietnamese Milk Coffee, Cappucino, Caramel Latte, Hazelnut Latte, Vanila Coffee. Ada juga dalam bentuk ice blended, seperti Original Ice Poppucinno, Cookie’n cream, Brandy Cookies, dan menu favorit The Ultimate.

Selain itu, Bengawan Solo menyediakan camilan yang cocok sebagai pendamping kopi. Camilannya berupa camilan khas Jawa, seperti pisang goreng, singkong goreng, risoles, lemper, dan sebagainya. Tak hanya itu, disediakan pula minuman non-kopi, seperti Hot Chocolate, Hot Green Tea, OJ Shake, Wild Strawberry, Iced Tea Tarriikk, dan sebagainya.

“Inilah pembeda dengan kedai-kedai kopi lainnya. Target kami adalah anak-anak muda yang sudah masuk ke lifestyle. Variasi-variasi kami butuhkan untuk mendukung lidah orang muda yang doyan variasi rasa,” katanya.

Dua tahun silam, Ipeng menggandeng patner untuk menggodog konsep hospitalitas. Baginya, kedai kopi harus senyaman mungkin dan punya multifungsi. Tidak hanya untuk minum, tetapi juga untuk kencan, rendezvous, jeda dari kesibukan, atau lobi-lobi bisnis dalam suasana santai. Konsep hospitalitas mereka terjemahkan dalam bentuk servis yang memuaskan.

Soal SDM, Ipeng memasang standar minimal lulusan SMA, menjalani training selama lima hari untuk basic knowledge, berlanjut training satu minggu untuk praktik. Sampai sekarang, Ipeng berhasil merekrut karyawan sekitar 90 orang.

Salah satu kekhasan dari Bengawan Solo adalah paduan antara aksen modern dan tradisional. Ipeng mencoba mengawinkan dua sisi yang sering bertolakbelakang ini. Hasilnya justru sebuah kedai elegan di mana konsumen masih bisa menikmati gaya hidup modern dengan sentuhan-sentuhan tradisional. Sentuhan tradisional dibuat dengan desain interior kedai seperti ornamen batik, suvenir-suvenir khas Jawa, dan sebagainya. Lagu-lagu pengiring pun dipilih yang mewakili dua nuansa tersebut. Misalnya keroncong populer, jazz tradisional, dan instrumental yang cocok dengan target pasar.

“Fokus kami tetaplah high quality product dan good service. Kami sudah punya pengalaman puluhan tahun soal kopi. Mulai dari pemilihan biji kopi sampai seleksi biji kopi masih kami lakukan sendiri. Karena kopi ini adalah kopi lokal, kami menyuguhkannya dengan harga ekonomis bagi semua kalangan masyarakat,” katanya.
Ipeng berharap semua kalangan masyarakat Indonesia bisa masuk dalam gaya hidup kopi ini. Meski orang muda tetap menjadi sasaran utama. Bahan bakunya diperoleh dari negeri sendiri dengan tipe kopi Arabica yang terbaik. Sedang, dari sisi kemasan, Bengawan Solo Coffee memakai kemasan internasional yang bisa langsung dibawa pergi dan aman bagi kesehatan.


Sebagai bagian dari strategi harga, Ipeng menerapkan konsep terjangkau. Boleh dibilang hampir setengah dari harga produk di kedai kopi merek internasional. Range harganya dimulai dari Rp 7.500-23.500. “Hal ini didukung karena banyak proses swadaya. Dari pemilihan biji kopi sampai mengolahnya menjadi minuman. Ini sangat mengirit ongkos. Kami mengusung one pricing policy untuk semua mal. Tidak ada pengkelasan harga,” katanya. Setelah tiga bulan berjalan, harga yang sudah ditetapkan dilihat cukup masuk di konsumen kelas menengah.

Dalam hal promosi, Ipeng masih mengandalkan word of mouth, marketing dari mulut ke mulut. Selain itu, Bengawan Solo juga menggelar kerja sama dengan provider Esia untuk mengadakan SMS blast. Ada juga kartu poin dan baru digodog kembali agar customer mendapatkan lebih banyak lagi benefit. Kemitraan dengan perusahaan lain pun terus ia lakukan.

Alhasil, volume pengunjungnya relatif bagus. Untuk weekdays, Bengawan Solo Coffee bisa menjual rata-rata 75 cups. Untuk weekend bisa tiga kali lipatnya. Kedai paling ramai saat ini ada di Kelapa Gading dan Summarecon Mal Serpong.

Sampai September 2007, Bengawan Solo Coffee sudah mempunyai 33 kedai, tersebar paling banyak di Jakarta, menyusul Yogjakarta dan Medan. Ukuran kedai dibedakan dalam tiga konsep, yakni push cart (di pusat keramaian), island (tempatnya lebih besar tapi cukup limited), dan cafe (lebih luas). Masing-masing konsep dieksekusi sesuai kondisi tempat. Di tahun-tahun mendatang, Ipeng berancang-ancang melebarkan sayap bisnisnya di berbagai kota besar lainnya.

Menghadapi kompetisi bisnis kedai kopi yang ketat ini, Ipeng menyikapinya dengan bermain pada strategi harga, pengolahan produk, dan pemilihan lokasi. “Kami berusaha teliti untuk memilih lokasi. Kami memilih lokasi yang terbuka, mudah dijangkau, dan kelihatan,” cetusnya.

Ipeng masih punya mimpi menjadikan kedai kopinya sepopuler Starbucks. “Mereka di satu jalanan, mampu mendirikan lima atau sepuluh kedai sekalipun. Itu tidak masalah. Memang, di setiap sudut jalanan, kami melihat potensi pasar sendiri-sendiri,” katanya.

Ia semakin yakin karena sampai sekarang sudah ada permintaan waralaba dari Australia, Malaysia, dan China. Untuk sementara, Ipeng belum mau mewaralabakan kedai kopinya. Ia masih memfokuskan diri untuk memperkuat merek dengan meningkatkan produk, menambah jumlah kedai, dan mengembangkan servis pada customer. Tahun ini, Ipeng menargetkan akan menambah kedainya menjadi 38 buah. “Semoga nantinya, kami mampu mengekspor kopi ke mancanegara!” tandasnya optimis.

Sigit Kurniawan| Majalah Marketing, Oktober 2007| Foto: Flickr.com

0 komentar:

Quote of Philip Kotler

"Marketing is not the art of finding clever ways to dispose of what you make. It is the art of creating genuine customer value."

[Philip Kotler]

Bus Disulap Jadi Rumah Berjalan

Image Hosted by ImageShack.us
Seperti apakah bila bus, moda transportasi yang jamak digunakan orang, disulap menjadi 'rumah atau kantor' berjalan?read more

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP