05 Mei 2008

Bedah Majalah Marketing

Membaca Prospek 2009


Banyak kalangan memperkirakan prospek tahun 2009 bagi dunia bisnis menurun. Bahkan, ada beberapa opini yang mengatakan pada tahun menjadi titik kulminasi dari krisis global yang dimulai dari daratan Amerika itu. Apalagi sudah banyak perusahaan besar merampingkan bisnisnya dengan mem-PHK ribuan karyawannya. Tapi, bagaimana prediksi pada kondisi Indonesia tahun depan?


Pada edisi Desember 2008, Majalah Marketing mencoba mengupas prediksi dari berbagai sektor industri. A. Tony Prasetiantono, salah satu narasumber majalah ini, mengatakan bahwa kondisi sekarang ini belum sampai membuat damage confidence. Baginya, yang terlihat adalah penurunan nilai mata uang asing dan naiknya suku bunga bank. Sektor konsumsi domestik akan menopang pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan. Kendati kegiatan ekspor melambat akibat turunnya permintaan dari luar negeri. Tony tetap optimistis pada kondisi tahun depan karena tidak akan ada hal-hal yang menganggu kecepatan ekonomi 2009 selama kondisi politik tetap kondusif.


Sementara itu, Yuswohady, Chief Executive of MarkPlus, mengatakan karena berbagai keadaan tak menentu, seperti krisis global, fluktuasi harga minyak, fluktuasi harga komoditas, krisis suplai makanan, dan Pemilu, maka lengkaplah tahun 2009 sebagai tahun penuh ranjau, tahun penuh tantangan, tahun penuh ketidakpastian, tahun penuh gonjang-ganjing: “year of living dengerously”. Ia mengajak para marketer tetap optimis dengan 150% lebih waspada, 150% lebih kreatif, 150% lebih ngotot, 150% lebih smart, dan 150% lebih tahan banting. “Dengan itu, kita akan survive!” katanya.


Darmadi Durianto, pengamat pemasaran dari Vadriv Consulting melihat tahun depan pasar elektronik dan sepeda motor akan menciut. Peta persaingan tahun depan lebih didominasi oleh perang harga. Ini dilatari karena harga bahan baku naik tajam dan daya beli masyarakat semakin melemah.


Dunia periklanan pun terimbas krisis. Pada tahun 2009, belanja iklan diperkirakan menurun meskipun belanja iklan politik akibat Pemilu tetap ramai. Pengamat periklanan Irfan Ramli mengatakan para pelaku industri iklan dan pemasang iklan akan melirik ke media digital. “Kondisi ini yang terus berlanjut di tahun depan ini akan mengubah strategi periklanan. Ini akan terasa di kota-kota besar. Tren yang akan muncul tahun depan adalah penggunaan digital medium yang berbasis internet,” katanya.


Para pelaku bisnis properti tahun depan pun harus mengencangkan ikat pinggang. Kekuatan strategi pemasaran yang diterapkan pengembang dipertaruhkan. Pengembang tidak bisa lagi hanya memberikan diskon, diskon, dan diskon. Lebih dari itu, pengembang dipaksa untuk lebih berbeda dan berani. Kuncinya, permodalannya harus kuat. “Kalau tidak kuat, ya jangan jadi pengembang,” tegas Panangian.


Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia itu, pengembang saat ini harus benar-benar cerdas. Selling tanpa strategi diferensiasi akan mati. Sebab, kini konsumen berpikir 10 kali untuk membeli properti. Konsumen berpendapat, lebih baik menunggu suku bunga kembali ke 9% ketimbang membayar mahal.


Pasar otomotif pun akan lesu. Pasar sepeda motor diperkirakan akan anjlok 30-40%. Konsumen cenderung akan memilih kategori low price karena terganjal oleh daya belinya. Selain daya beli, faktor yang layak diperhatikan adalah kondisi pasar ekspor khususnya ke Amerika dan Eropa. Kondisi di luar negeri cukup memprihatinkan karena ada resesi. Di sana, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara massal sudah terjadi. Contohnya, industri tekstil, sepatu, dan sebagainya.


Dengan adanya krisis keuangan ini, likuiditas keuangan menjadi sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan leasing company yang selama ini berkontribusi 76% dari penjualan sepeda motor mempunyai peluang yang semakin sempit.


“Alasannya, banyak bank yang terkena imbas. Padahal perusahaan leasing ini sangat tergantung pada bank. Mau jual obligasi, tapi siapa yang beli? Likuiditas terbatas dan bunganya naik sekitar 6-8%. Kuncinya, ada di leasing company,” kata Wakil Presiden Direktur PT Yamaha Indonesia Manufacturing Dyonisius Beti.


Industri IT (Information Technology) di tahun-tahun sekarang semakin convergence. Tidak hanya sebatas teknologi komputer dan telekomunikasi saja, tapi juga terkait dengan industri-industri lain. Itulah pernyataan Profesor Richardus Eko Indrajit mengenai kondisi industri ini.


“Mungkin istilah IT akan hilang karena yang lebih sering dipakai sekarang adalah Business Technology. Bisnis apa pun akan merangkul teknologi digital untuk meng-enhance bisnisnya. Ada konvergensi TI dengan sektor industri manapun, khususnya sektor jasa,” katanya.


Meski begitu, industri pangan akan tetap menjadi prioritas utama. Sektor industri makanan dan minuman (food and beverages) akan tetap tumbuh pada tahun 2009. Meskipun terjadi krisis keuangan global, pangan akan tetap menjadi prioritas utama di setiap negara. Inilah yang diyakini oleh Thomas Darmawan, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi).


Menurutnya, dalam menghadapi krisis, masyarakat tidak akan mengorbankan sektor pangan. Tapi, mereka akan mengurangi anggaran untuk sektor yang lain, misalnya sektor elektronik dan kebutuhan gaya hidup. “Toko-toko elektronik akan menyikapi dengan mengecilkan space. Sementara orang akan menunda atau memiliki produk yang lebih fungsional dengan harga terjangkau daripada produk yang memenuhi kebutuhan gaya hidup,” katanya.


Selebihnya bisa dibaca di edisi cetaknya. Untuk mengetahui lebih lanjut dari, silakan hubungi alamat kontak berikut:


Majalah Marketing
Tlp. 021-45857040
021-70309777 (bagian sirkulasi)
Email: redaksi@marketing.co.id
Website: www.marketing.co.id

Selamat membaca!

Read more...

Far Eastern Economic Review

By Hugo Restall

Posted November 7, 2008

In 2005, a notable debate was taking place in Beijing policy circles about how to rebalance the Chinese economy away from reliance on exports and in favor of greater domestic consumption. Ultimately, however, this initiative didn’t go very far. And it’s no wonder. Governments generally stick with what is working at the moment, and nobody can deny that an export orientation served China well for a long time, just as it did the other East Asian “miracles.”

The present financial crisis has put that debate in a new light. What some referred to as “unsustainable growth” is now evaporating. The region may be sitting on large reserves of foreign exchange. But it is finding that while these are good insurance against a balance of payments crisis in the region, they are not much help when the victim is the buyer of last resort itself, the United States.

Since World War II, the world has enjoyed the “deficits without tears,” as a French official once dubbed the perpetual U.S. trade imbalance. He was refering to America’s ability, due to the dollar’s status as the world’s reserve currency, to finance its imports with an inexhaustible stream of inward investment.

But now there are tears, and as we went to press it was becoming increasingly clear that many of them will be in Asia. This might seem unfair given that Asians put their financial houses in better order after the 1997 regional crisis. But putting aside who is to blame, the codependent trade relationship with the U.S. has become dysfunctional.

The election of Barack Obama as America’s next president will bring an opportunity to re-examine the region’s relationship with the superpower. It would be disastrous if the U.S. were to appease domestic interest groups by resorting to protectionism. But at the same time there needs to be a discussion about how to put trade on a sustainable track.
As Brian Klein writes in this issue, however, crisis management will probably claim the new administration’s attention first. From North Korea to Pakistan, there is always a learning curve at the beginning of a presidential term.

Paul Wolfowitz sounds a hopeful note that in the Taiwan Strait the U.S. has an opportunity to build on the foundation laid for economic cooperation by President Ma Ying-jeou. That will create the trust necessary to make political progress possible at a later stage. But the U.S. still needs to play a delicate balancing act of ensuring Taiwan’s ability to defend itself without getting drawn into efforts by either side to change the status quo.

Read more...

Integrated Marketing Communications (IMC)


Memadukan Seluruh Amunisi

Kalau kita menonton film-film laga kolosal, seperti Troy atau 10.000 BC, alurnya bisa ditebak. Awalnya, cerita dimenangkan oleh pihak musuh. Baru setelah seluruh suku atau komponen bersatu, pihak lakon berhasil memenangi pertempuran. Begitu pula dalam ajang olahraga seperti World Cup atau Olimpiade kemarin, skuad bakal menajdi juara bila memiliki kerja sama tim dan menyatukan seluruh kemampuan pemain. Istilahnya: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Nah, seperti itu jugalah analog dari konsep Intergrated Marketing Communications (IMC). Segala kekuatan harus diintegrasikan menjadi satu kekuatan besar. Soal konsep IMC, kita layak berterimakasih pada guru pemasaran Don Schultz. Pasalnya, dialah yang memopulerkan konsep komunikasi pemasaran kontemporer tersebut.

Sistem terpadu ini ingin menjawab persoalan di dunia pemasaran di mana ada kecenderungan perusahaan memisahkan strategi pemasaran dengan strategi komunikasi. Keduanya bekerja sendiri-sendiri. Schultz melihat bidang kerja komunikasi dan pemasaran semakin menyatu. Baginya, keduanya bagaikan dua sisi uang logam. Komunikasi adalah pemasaran sekaligus pemasaran adalah komunikasi. Ini sudah menjadi ngetren sejak tahun 1990-an.

Lalu, apa sebenarnya IMC itu? IMC merupakan proses pengembangan dan implementasi berbagai bentuk program komunikasi persuasif kepada pelanggan dan calon pelanggan secara berkelanjutan. Tujuannya tidak lain untuk memengaruhi sekaligus memberi efek langsung pada perilaku khalayak sasaran yang dimilikinya. Dengan IMC, marketer melihat apa pun yang bisa menghubungkan pelanggan maupun calon pelanggan dengan produk atau jasa merek sebagai cara potensial. Marketer akan menggunakan semua jalur komunikasi untuk membangun serta memperkokoh relasi dengan pelanggan.

Karakter IMC
Karakter pertama IMC adalah kekuatannya memengaruhi perilaku. Dalam hal ini, komunikasi pemasaran tidak hanya memengaruhi kesadaran merek ataupun “memperbaiki” perilaku konsumen pada merek saja. Tapi, IMC membutuhkan upaya komunikasi yang ditujukan untuk mendongkrak bentuk respon dari perilaku konsumen. Dengan kata lain, tujuannya menggerakkan orang untuk bertindak. Sebelum membeli sebuah produk, konsumen disadarkan lebih dulu akan keberadaan merek bersama benefitnya. Lalu, dipengaruhi agar muncul sikap mendukung merek itu.

Menurut Handi Irawan D, IMC merupakan suatu proses bisnis yang menggunakan perencanaan, eksekusi, koordinasi dan pengukuran dari semua aktivitas komunikasi yang ditujukan kepada konsumen, karyawan dan pihak-pihak terkait lainnya. Tujuan IMC adalah mendapatkan tingkat return (ROI) yang terbaik dan merek yang kuat dan bernilai tinggi.

Mari kita lihat kasus industri dairy di Amerika Serikat. Pada dekade 1980–1990-an, industri ini “membujuk” konsumen dengan kampanye bahwa susu adalah minuman yang menyehatkan tubuh. Riset dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen menangkap pesan itu. Mereka menganggap susu adalah minuman penuh nutrisi. Tapi, muncul masalah ketika konsumsi akan susu justru menurun lebih dari 14%. Konsumen punya sikap positif pada susu, namun mereka tidak meminumnya sebanyak yang dulunya mereka minum.

Kampanye baru dimulai dengan tema “Milk. Help Yourself”. Iklan ini didesain khusus untuk memengaruhi perilaku konsumen agar lebih sering minum susu. Biro iklan J Walter Thompson merilis delapan iklan berbeda yang menyajikan susu bersama makanan dan camilan berlainan sepanjang hari. Pada pagi hari, susu cocok didampingi dengan kue waffle dengan sirup kental di atasnya serta adonan roti baru. Pada malam hari, sajiannya pun berbeda.

Kedua, IMC selalu berawal dari pelanggan dan calon pelanggan. Mendengarkan apa yang dibutuhkan pelanggan menjadi penting di sini. Katakanlah ada unsur demokratis di sini di mana perusahaan tidak lagi mengomunikasikan produk dan merek secara satu arah. Model ini menghindari pendekatan inside-out (dari perusahaan ke pelanggan). Sebaliknya, menggunakan pendekatan outside-in (dari pelanggan ke perusahaan). Pendekatan outside-in menjadi cara terbaik dalam melayani kebutuhan informasi pelanggan dan memotivasi mereka untuk membeli sebuah merek. Dengan model ini, marketer akan menggunakan cara komunikasi yang paling sesuai dengan pelanggan.

Ketiga, IMC memanfaatkan seluruh bentuk dan media komunikasi. Marketer sebaiknya memanfaatkan segala media komunikasi untuk menghubungkan perusahaan dengan pelanggan. Catatannya, media itu merupakan yang terbaik dalam menjangkau pelanggan. Contohnya, ada merek agar-agar Jell-O yang dikomunikasikan melalui produk lain berupa pisang dengan gambar tempel.

Ada lagi cara unik Smirnoff ketika memperkenalkan merek vodka premiumnya Smirnoff Black. Smirnoff mengkampanyekan vodkanya dengan mendramatisir relasi dengan Rusia. Ia menggunakan BFG Communications dari Hilton Head di Carolina Selatan untuk mengeksekusi idenya. BFG pun membuat sebuah produksi terdiri dari empat aktor yang berpakaian ala Rusia abad ke-19 sebagai czar, czarina, Rasputin, dan balerina. Mereka pergi ke bar dan menghibur pengunjung bar agar timbul perhatian dan antusiasme pada merek Smirnoff Black. Dari sini, terlihat bahwa marketer tidak terbelenggu oleh bentuk-bentuk komunikasi standar. Mereka dituntut kreatif memadukan media-media komunikasi menjadi sarana kampanye efektif.

Keempat, IMC menciptakan sinergi. Sinergi adalah kata yang sangat kuat dalam model IMC ini. Semua elemen komunikasi (iklan, tempat pembelian, promosi penjualan, event, dan sebagainya) harus mempunyai satu suara. Koordinasi menjadi hal fundamental dalam menciptakan citra merek yang kuat dan utuh serta membuat konsumen melakukan aksi. Kegagalan melakukan koordinasi justru menimbulkan hal kontraproduktif pada merek.

Seorang wakil presiden pemasaran Nabisco mengamini pentingnya bicara dalam satu suara. Ia mengintegrasikan semua kontak komunikasi pemasaran untuk merek kue Oreo dari Nabisco. Ia menandaskan bahwa ketika konsumen melihat Oreo, merek akan melihat pesan yang sama. Inkonsistensi pernah dialami Pepsi-Cola yang berlogo warna merah-putih-biru. Tapi, toko grosir di Hamburg menggunakan warna merah dan sebuah restoran di Shanghai menonjolkan warna putih. Lantaran efek negatif, pada awal tahun 1996 Pepsi-Cola meluncurkan Proyek Biru dengan logo didominasi warna biru.

Kelima, menjalin hubungan. Di sini, diyakini bahwa komunikasi pemasaran yang sukses membutuhkan terjalinnya relasi antara merek dengan pelanggannya. Pembinaan relasi adalah kunci pemasaran modern. IMC menjadi kunci terjalinnya relasi tersebut. Membangun loyalitas merek menjadi penting. Perusahaan menyadari lebih menguntungkan tetap menjalin dan mempertahankan relasi dengan pelanggan yang sudah ada ketimbang mencari pelanggan baru.

Pemicu IMC
Handi Irawan menengarai ada tiga pemicu penggunaan IMC ini. Pertama, merek. Menurutnya, merek merupakan ekuitas yang terpenting. IMC menjadi senjata utama untuk membangun persepsi, citra dan merek yang kuat dimana konsumen memiliki hubungan yang kuat dengan sebuah merek.

Pemicu kedua adalah perkembangan teknologi. Perkembangan pesat peranti teknologi komunikasi menjadikan IMC mutlak perlu menggunakan media yang ada. Perusahaan seharusnya mengalokasikan bujet untuk investasi alat-alat mutakhir ini.

Ketiga adalah faktor globalisasi. Globalisasi telah menjadikan komunikasi antarpribadi menjadi tidak terbatas (borderless). Komunikasi melalui YouTube mampu menjangkau konsumen di semua negara. Komunikasi dengan call center, mampu menjangkau konsumen di Amerika walaupun secara fisik, terletak di India. Globalisasi ini juga mendorong agar strategi komunikasi relatif mempunyai pesan yang sama untuk konsumen di seluruh dunia.

Menurut Handi, ketiga pemicu ini akhirnya menciptakan harapan baru bagi konsumen dalam berkomunikasi. Konsumen tidak ingin berkomunikasi hanya satu arah. Mereka bosan dengan komunikasi yang berbentuk iklan di mana mereka menjadi obyek yang pasif. Mereka lebih senang untuk dilibatkan dan merasa lebih percaya bila produsen juga mendengarkan mereka.

Dalam praktik, pada intinya, marketer harus cerdas dalam memadukan seluruh komponen marketing dengan berbagai peranti teknologi. Handi mengingatkan bahwa IMC bukanlah pekerjaan departemen komunikasi. Tapi, IMC sudah menjadi tanggung jawab tingkat direktur atau pemimpin perusahaan.

Sigit Kurniawan | Majalah Marketing edisi November 2008| Foto: www.qorvis.com

Read more...

Konsep Lama Perlu, Tapi Tak Mencukupi

Persoalannya sekarang tidak lagi terletak pada market. Tapi, lebih pada people.

Orang bijak berkata, bacalah tanda-tanda zaman bila ingin tetap hidup. Demikian pula bagi seorang marketer. Dia harus mempunyai cara pandang yang dinamis karena pasar juga dinamis. Dunia kini bergerak kian cepat. Anthony Giddens menyebutnya sebagai a run away world, dunia yang tunggang langgang.

Dalam kondisi seperti itu, pakar manajemen Rhenald Kasali mengingatkan para marketer agar bisa memahami zaman. Ia menegaskan bahwa para marketer tidak boleh mendewakan konsep-konsep marketing lama. “Banyak ilmu yang kita dewakan. That is necessary, but not sufficient. Konsep-konsep lama tetap perlu, tapi tidak mencukupi,” katanya.

Rhenald mengaku belum melihat ada sesuatu yang baru dalam marketing. Kondisinya masih stagnan. Menurutnya, ada sesuatu yang harus diperhatikan oleh banyak marketer, yakni perubahan (change). Menyitir pendapat Jagdish Sheth, penulis buku Self Destructive Habits of Companies, Rhenald mengatakan, kini bukan zamannya lagi fokus pada the way to deliver message atau the way to manipulate consumers. “Sekarang ini, marketing problemnya bukan terletak pada customer. Tapi, ada di dalam corporate atau pelakunya.”

Ia menuturkan, makin besar perusahaan, makin hierarkis pula perusahaan itu. Perusahaan yang makin hierarkis cenderung membuat orang-orang di perusahaan itu sulit membaca perubahan pasar. Apalagi konteks zaman ini sudah serba digital. “Contohnya, penguasa energi terbesar sekarang tidak lagi Exxon Mobil dan sebagainya. Tapi, investment bankers yang memperlakukan minyak sebagai bursa komoditi atau seperti harga saham,” katanya.

Bagaimana kita mengendus semua ini? Menurut Rhenald, marketer butuh cara-cara berpikir baru. Jagdish Sheth mendeskripsikan adanya tujuh penyakit yang menghancurkan perusahaan-perusahaan bagus. Pertama, the “cocoon” of denial. Orang menemukan, mengakui, menghitung, dan malah meninggalkannya. Kedua, the stigma of arrogance. Orang-orang arogan cenderung tidak mau belajar lagi. Ketiga, comfort zone. Orang lebih senang berdiam diri bila sudah memasuki tahap mapan.

Keempat, masalah teritori (the territorial impulse). Orang merasa menguasai teritorinya sehingga orang lain tidak boleh masuk. Kelima, obsesi terhadap volume (the obsession of volume). Orang terobsesi memiliki sebanyak-banyaknya dan menguasai seluas-luasnya. Termasuk menguasai negara, pulau, dan dunia. “Jadi, larinya ke market share dan menjadi pelaku yang dominan di pasar. Padahal bukan pelaku dominan dari segi kekuasaan, tapi dari segi keuntungan,” katanya.

Keenam, ketergantungan pada kompetensi yang sudah tidak cocok lagi dengan zaman (the curse of incumbency). Misalnya, dulu negara komunis mempunyai orang-orang yang tergantung pada cara berpikir komunis. Sekarang yang terjadi sudah serba paradoksal. Partainya komunis, tapi cara berpikir orang-orangnya kapitalis. Jadi, kita tidak bisa mengandalkan kemampuan-kemampuan kita di masa lalu. Ketujuh, ada kecenderungan orang melihat pasar secara sempit (the threat of myopia).

Jagdish Sheth melihat semua persoalan itu bukan pada market, tapi pada resources. Menurut Rhenald, hal ini yang menyebabkan ilmu marketing terbagi dua, yakni market base dan resource base. Perkembangan sekarang yang paling maju ada di resource base. “Jadi, resource kitalah yang bermasalah. Bukan di market. Bisa jadi, kalau dibikin dalam satu atau dua buah kata, konsep marketing sekarang adalah marketing change. Kurang lebih seperti itu. Itu yang saya lihat,” tandasnya.

Rhenald melihat konsep lama marketing masih mengarah pada pasar, seperti experiential marketing, blue ocean, dan sebagainya. “Nah, sekarang orang masuk ke resource base. Pentingnya kita menata kembali manusia dan organisasi dalam mengepung pasar,” katanya.

Oleh karena itu, langkah yang perlu diambil oleh marketer adalah me-redesign organisasi dan men-training kembali SDM atau membuat generasi baru dalam industri. “Pada kenyataannya, generasi baru masuk dengan nilai dan cara berpikir yang sama sekali berbeda dengan yang sudah ada,” katanya.

Market sekarang sudah terbelah menjadi dua, yakni old generation dan native digital. Sebutan native digital mengacu pada generasi muda sekarang yang kehidupannya dikepung oleh produk dan sistem digital. Rhenald menyebut dengan generasi yang dilahirkan dari mouse di tangan kanannya. Dunia generasi ini ditandai dengan proses super cepat. “Mereka sudah tidak bisa dibohongi lagi dengan brand. Mereka dunianya sudah tidak terkotak dengan dunia mereka. Mereka sudah menembus berbagai garis batas dan serba cepat. Mainan mereka juga berbeda. Mainan mereka semua serba digital,” imbuhnya.

Untuk menjembatani antargenerasi, Rhenald mengajak perusahaan untuk melibatkan banyak orang muda dalam perusahaannya. “Intinya, persoalan marketing sekarang tidak lagi terletak di pasar. Tapi, how to take the people. Merombak jajaran birokrasi kita jauh lebih penting daripada kita membuat iklan di televisi,” tandasnya.

Sigit Kurniawan | Majalah Marketing Oktober 2008 | Foto:nina-tara.blogspot.com

Read more...

Kontak Redaksi

Hello Marketer

Office : Jl. H. Solihun no. 23 Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Email : marketer.marketer@gmail.com
Yahoo Messenger : jazz_oke@yahoo.com

Read more...

Kedainya "Mengalir" Sampai Jauh

Dengan mengusung bendera lokal, Bengawan Solo Coffee nekat “bertempur” di bisnis kopi yang ramai dengan merek-merek asing. Kini, sudah ada permintaan waralaba dari mancanegara. Seperti apa sepak terjangnya?

Bisnis kopi kian marak. Di berbagai sudut jalan di kota besar terserak kedai-kedai kopi dengan beragam merek. Baik merek lokal maupun internasional. Eksistensi kopi seolah abadi. Di setiap peradaban, kopi selalu ada.

Di tengah bisingnya bisnis kopi itulah, Ipeng Widjodjo memberanikan diri memutar roda bisnis dengan bendera Bengawan Solo Coffee pada 18 Mei 2003. “Secara tidak sengaja, kami hadir satu tahun satu hari setelah kedai Starbucks dibuka pertama kali di Indonesia,” katanya.

Kecintaannya pada kopi tidaklah turun dari langit. Ipeng memang dibesarkan dari keluarga juragan kopi. Orangtuanya berbisnis kopi, tepatnya trading biji kopi, selama 30 tahunan. Dari merekalah Ipeng memperoleh pengetahuan tentang kopi. Namun, pada awal tahun 2000, harga kopi dunia anjlok. Marjin menjadi tipis sekali.

“Menyikapi hal itu, kami memikirkan konsep bisnis kopi yang lebih menguntungkan. Akhirnya, kami memilih konsep bisnis kedai kopi. Pertimbangannya, kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup zaman sekarang. Ada banyak nilai tambah dan marjinnya lumayan,” lanjutnya.

Merek “Bengawan Solo” sengaja dipilih karena Ipeng ingin mengibarkan bendera lokal. Dengan merek ini, Ipeng optimis kedai kopinya bakal mudah dikenali orang. Apalagi masih jarang ada merek lokal di bisnis ini. Selain itu, nama Bengawan Solo sudah populer di banyak kalangan, termasuk mancanegara, karena lagu Bengawan Solo gubahan seniman Gesang. Bahkan, pada awal-awal tahun mereka berdiri, sudah ada stasiun televisi swasta Jepang meliput kedainya. “Seperti halnya Sungai Bengawan Solo yang mengalir panjang, kami berharap Bengawan Solo Coffee mempunyai masa depan yang panjang dan bisa dikenal di mana pun,” katanya.

Kedai pertama dibuka di ITC Kuningan. Kedai tersebut merupakan langkah awal sebelum menjajaki wilayah mal. “Kebetulan mal ini sangat ramai. Lebih-lebih kopi sudah sangat populer. Kami bermain di harga dan cita rasa. Kami optimis keduanya sangat mengena,” imbuhnya.

Namun, tidak ada usaha bisnis yang berjalan lurus tanpa mengenyam suka dan duka dalam menembus pasar. Apalagi pasarnya sudah disesaki banyak pemain. “Pertama kali, kami berusaha meyakinkan customer untuk mencoba sendiri. Ini sebuah coffee brand yang dibilang baru. Kami mengusahakan setiap kedai ramai dengan pengunjung. Orang lebih terdorong mampir kalau kedai itu dipadati pengunjung. Maka, initial opening kami bikin semeriah mungkin,” ungkap Ipeng.

Dari sisi produk, Bengawan Solo hampir sama dengan international coffee shop lainnya. Sebagian besar berbasiskan espresso yang tersaji dalam bentuk panas dan dingin dalam beragam gaya. Sebut saja Black Coffee, Vietnamese Milk Coffee, Cappucino, Caramel Latte, Hazelnut Latte, Vanila Coffee. Ada juga dalam bentuk ice blended, seperti Original Ice Poppucinno, Cookie’n cream, Brandy Cookies, dan menu favorit The Ultimate.

Selain itu, Bengawan Solo menyediakan camilan yang cocok sebagai pendamping kopi. Camilannya berupa camilan khas Jawa, seperti pisang goreng, singkong goreng, risoles, lemper, dan sebagainya. Tak hanya itu, disediakan pula minuman non-kopi, seperti Hot Chocolate, Hot Green Tea, OJ Shake, Wild Strawberry, Iced Tea Tarriikk, dan sebagainya.

“Inilah pembeda dengan kedai-kedai kopi lainnya. Target kami adalah anak-anak muda yang sudah masuk ke lifestyle. Variasi-variasi kami butuhkan untuk mendukung lidah orang muda yang doyan variasi rasa,” katanya.

Dua tahun silam, Ipeng menggandeng patner untuk menggodog konsep hospitalitas. Baginya, kedai kopi harus senyaman mungkin dan punya multifungsi. Tidak hanya untuk minum, tetapi juga untuk kencan, rendezvous, jeda dari kesibukan, atau lobi-lobi bisnis dalam suasana santai. Konsep hospitalitas mereka terjemahkan dalam bentuk servis yang memuaskan.

Soal SDM, Ipeng memasang standar minimal lulusan SMA, menjalani training selama lima hari untuk basic knowledge, berlanjut training satu minggu untuk praktik. Sampai sekarang, Ipeng berhasil merekrut karyawan sekitar 90 orang.

Salah satu kekhasan dari Bengawan Solo adalah paduan antara aksen modern dan tradisional. Ipeng mencoba mengawinkan dua sisi yang sering bertolakbelakang ini. Hasilnya justru sebuah kedai elegan di mana konsumen masih bisa menikmati gaya hidup modern dengan sentuhan-sentuhan tradisional. Sentuhan tradisional dibuat dengan desain interior kedai seperti ornamen batik, suvenir-suvenir khas Jawa, dan sebagainya. Lagu-lagu pengiring pun dipilih yang mewakili dua nuansa tersebut. Misalnya keroncong populer, jazz tradisional, dan instrumental yang cocok dengan target pasar.

“Fokus kami tetaplah high quality product dan good service. Kami sudah punya pengalaman puluhan tahun soal kopi. Mulai dari pemilihan biji kopi sampai seleksi biji kopi masih kami lakukan sendiri. Karena kopi ini adalah kopi lokal, kami menyuguhkannya dengan harga ekonomis bagi semua kalangan masyarakat,” katanya.
Ipeng berharap semua kalangan masyarakat Indonesia bisa masuk dalam gaya hidup kopi ini. Meski orang muda tetap menjadi sasaran utama. Bahan bakunya diperoleh dari negeri sendiri dengan tipe kopi Arabica yang terbaik. Sedang, dari sisi kemasan, Bengawan Solo Coffee memakai kemasan internasional yang bisa langsung dibawa pergi dan aman bagi kesehatan.


Sebagai bagian dari strategi harga, Ipeng menerapkan konsep terjangkau. Boleh dibilang hampir setengah dari harga produk di kedai kopi merek internasional. Range harganya dimulai dari Rp 7.500-23.500. “Hal ini didukung karena banyak proses swadaya. Dari pemilihan biji kopi sampai mengolahnya menjadi minuman. Ini sangat mengirit ongkos. Kami mengusung one pricing policy untuk semua mal. Tidak ada pengkelasan harga,” katanya. Setelah tiga bulan berjalan, harga yang sudah ditetapkan dilihat cukup masuk di konsumen kelas menengah.

Dalam hal promosi, Ipeng masih mengandalkan word of mouth, marketing dari mulut ke mulut. Selain itu, Bengawan Solo juga menggelar kerja sama dengan provider Esia untuk mengadakan SMS blast. Ada juga kartu poin dan baru digodog kembali agar customer mendapatkan lebih banyak lagi benefit. Kemitraan dengan perusahaan lain pun terus ia lakukan.

Alhasil, volume pengunjungnya relatif bagus. Untuk weekdays, Bengawan Solo Coffee bisa menjual rata-rata 75 cups. Untuk weekend bisa tiga kali lipatnya. Kedai paling ramai saat ini ada di Kelapa Gading dan Summarecon Mal Serpong.

Sampai September 2007, Bengawan Solo Coffee sudah mempunyai 33 kedai, tersebar paling banyak di Jakarta, menyusul Yogjakarta dan Medan. Ukuran kedai dibedakan dalam tiga konsep, yakni push cart (di pusat keramaian), island (tempatnya lebih besar tapi cukup limited), dan cafe (lebih luas). Masing-masing konsep dieksekusi sesuai kondisi tempat. Di tahun-tahun mendatang, Ipeng berancang-ancang melebarkan sayap bisnisnya di berbagai kota besar lainnya.

Menghadapi kompetisi bisnis kedai kopi yang ketat ini, Ipeng menyikapinya dengan bermain pada strategi harga, pengolahan produk, dan pemilihan lokasi. “Kami berusaha teliti untuk memilih lokasi. Kami memilih lokasi yang terbuka, mudah dijangkau, dan kelihatan,” cetusnya.

Ipeng masih punya mimpi menjadikan kedai kopinya sepopuler Starbucks. “Mereka di satu jalanan, mampu mendirikan lima atau sepuluh kedai sekalipun. Itu tidak masalah. Memang, di setiap sudut jalanan, kami melihat potensi pasar sendiri-sendiri,” katanya.

Ia semakin yakin karena sampai sekarang sudah ada permintaan waralaba dari Australia, Malaysia, dan China. Untuk sementara, Ipeng belum mau mewaralabakan kedai kopinya. Ia masih memfokuskan diri untuk memperkuat merek dengan meningkatkan produk, menambah jumlah kedai, dan mengembangkan servis pada customer. Tahun ini, Ipeng menargetkan akan menambah kedainya menjadi 38 buah. “Semoga nantinya, kami mampu mengekspor kopi ke mancanegara!” tandasnya optimis.

Sigit Kurniawan| Majalah Marketing, Oktober 2007| Foto: Flickr.com

Read more...

Dari Kami...

Hello Marketer,

Redaksi mengucapkan selamat mampir di saung putih ini. Anggap saja ini menjadi tempat hang out melepas segala lelah untuk sekadar mencicipi menu sederhana kami atau menyeruput segelas teh hangat atau kopi yang diharapkan bisa memantikkan sepercik api pencerahan di batok kepala.

Mengapa blog ini ada? Tentu ini menjadi pertanyaan dari sebagian pembaca. Blog ini hadir karena blog itu sendiri menjadi sebuah alternatif komunikasi yang tak terhindarkan. Blog menjadi sarana komunikasi dan interaksi yang sangat efektif. Kehadiran blog telah mengubah pola relasi dan komunikasi orang-orang modern. Termasuk juga pola relasi bisnis. Oleh karena itu, selain ada blog personal, ada juga blog korporat.

Lihat saja hasil dari proses pelacakan blog oleh mesin Technorati. Sampai hari ini ada sekitar 63,2 juta lebih blog di dunia. Ada lebih dari 175 ribu blog baru muncul setiap hari dengan 1,6 juta pasting setiap hari atau 18 posting terbaru setiap detiknya.

Hello Marketer dikhususkan untuk tulisan-tulisan seputar bisnis, khususnya dunia marketing. Blog dalam dunia marketing menjadi suatu media yang layak mendapat perhatian. Pasalnya, blog menjadi media interaktif antara perusahaan dengan konsumennya. Selama ini, perusahaan mempunyai website. Namun, sejauh pemantauan, masih terkesan tertutup dan satu arah (top down). Blog mencoba ‘membongkar’ kesan beku dari pola relasi itu. Dengan pola interaksi macam ini, blog mampu membangun kedekatan sekaligus kehangatan antara perusahaan dengan konsumennya.

Hello Marketer (selanjutnya disingkat HM) pernah menulis pada media ini bahwa blog mendukung apa yang namanya democratic marketing. Perusahaan pun harus menerapkan pola komunikasi demokratis dengan konsumennya. Dengan blog, posisi kedua belah pihak sama-sama mempunyai power dan diharapkan bisa menjalin relasi mutualisme. Termasuk juga dengan blog ini. Blog ini bebas menerima masukan, entah kritik atau tanggapan. Para pembaca juga bisa mengirimkan artikel, berita, atau tulisan apa saja yang inspiratif buat ditampilkan di lembar putih HM ini.

Itu saja perkenalan dari HM. Semoga kehadiran HM semakin menambah nilai bagi hidup para pembaca khususnya para pelaku marketing. Akhirnya, saya mengucapkan kegembiraan bahwa tidak ada waktu yang paling indah selain minum secangkir teh hangat dengan para sahabat! Semoga Hello Marketer menjadi sahabat menyenangkan bagi Anda semua. Selamat membaca!

Salam ceria,


Sigit Kurniawan
Editor in Chief

Read more...

Cara Orang Kampung “Menjajah” Kota

Cinta pada kampung halaman bisa diwujudkan lewat beragam cara. Entah dengan melestarikan seni budayanya, melakukan pembangunan, maupun dengan mempromosikan potensi-potensi daerah yang ada. Lain halnya dengan Arief Wirawangsadita. Putera Bandung yang akrab disapa dengan Arief ini ingin mengangkat kampung dengan “unjuk rasa” di berbagai kota lewat jalur kuliner.

Menjadi pengusaha makanan orang kampung sudah menjadi mimpinya sejak lama. Akhirnya, setelah sekian lama, pemilik resor Kampung Sampireun, Garut, Jawa Barat ini berhasil mendirikan gerai makanan khas orang kampung yang berkibar dengan nama Bumbu Desa pada tahun 2005.

“Konsep desa begitu memesona saya. Saya tergerak membuka usaha yang sekaligus memberdayakan potensi kampung ini. Jangan meremehkan orang kampung. Kami justru ingin mengepung kota-kota dengan value kampung,” kata Arief selaku pemilik sekaligus President Director PT Tirtagangga Gitamaya yang memegang merek Bumbu Desa.

Gerai pertama didirikan di Lawi, Bandung. Nama Bumbu Desa memang sengaja dipakai untuk menunjukkan kekhasan resto yang ia bangun. Sesuai namanya, resto ini menyajikan menu khas orang desa dan 95% bercitarasa Sunda. Akan tetapi, Arief mengaku tidak pernah mengklaim resto yang dibangunnya merupakan restoran Sunda. “Kami mempunyai misi berkontribusi pada tanah kelahiran kami. Kami sadar makanan-makanan ini sudah ada sejak leluhur kami dan sekarang sangat marketable,” kata Arief saat ditemui di kantor pusat Bumbu Desa, di daerah Dago, Bandung.

Menyajikan menu-menu khas desa di gerainya tidaklah mudah. Dengan tekad besar, Arief rajin berkelana ke pelosok-pelosok desa di Jawa Barat untuk menemukan racikan makanan desa—khususnya yang tidak populer di pasaran. Strateginya cukup unik. Ia mencoba mendekati para istri bupati yang biasanya menjadi ketua dharma wanita maupun PKK. “Melalui mereka, usaha kami akan lebih mudah. Mereka juga senang berbagi resep makanan untuk kami tampilkan di gerai kami,” kata pria yang gemar menjadi bagpacker ini.

Tidak sekadar itu. Arief pun mengumpulkan juru-juru masak dari kampung untuk berkontribusi di restorannya. Chef yang mereka punya bukanlah koki yang berasal dari hotel bintang lima. Tapi, ya dari ibu-ibu desa tadi. Memang, misi lain Arief tak lain adalah memberdayakan orang-orang kampung.

Atmosfir kampung juga ia terjemahkan dalam desain setiap gerainya. Kalau kebetulan menyambangi gerainya, Anda akan melihat nuansa pedesaan yang kental di gerai tersebut. Meski dibalut dengan gaya modern, interiornya didesain sedemikian rupa menyerupai kedai pedesaan. Di setiap dinding, dipajang foto-foto bernuansa klasik pedesaan. Misalnya foto para petani memanen padi, foto gerobak sapi, keceriaan anak-anak kampung, dan sebagainya.

Tata lampu pun dibuat sedikit redup dan menambah suasana klasik. Saat di pintu resto, kita akan disambut para waitress dengan seragam khas orang kampung yang akan menyapa kita dengan gaya Sunda-nya. Arief menamai mereka dengan “tim murah senyum”. Mereka selalu mengenakan pin Murah Senyum yang difungsikan sebagai pengingat agar selalu ramah pada setiap pelanggan. Ini sesuai dengan pepatah Sunda “someah hade ka semah” yang artinya selalu ramah pada tamu.

Di dalam gerai, pengunjung bisa memilih hidangan yang disajikan dengan kemasan desa seperti daun pisang, anyaman bambu, dan sebagainya. Sembari memanjakan lidah, pelanggan pun akan menikmati alunan musik khas Pasundan.

Menurut Arief, konsep servis makanan dan minuman di Bumbu Desa mirip dengan konsep servis warung Tegal (warteg) yang dikemas lebih modern disertai sentuhan marketing profesional. Di sana, ada beberapa menu andalan seperti udang garong, ikan pepes, ikan mas cobek, ikan paray goreng, tumis genjer bercampur oncom, ayam bumbu desa, sayur asem, dan sebagainya. Ditambah dengan sambel yang rasanya cukup kuat dan mengikat lidah. Untuk minuman, Bumbu Desa menyediakan menu cukup variatif. Kita bisa menjajal es kopyor jeruk, bajigur maupun bandrek spesial, di samping aneka jus dengan beragam varian rasa, soft drink, dan minuman lainnya.

Sejak didirikan, resto ini mendapat sambutan yang antusias. Usai sukses dengan gerai di Lawi, tiga bulan kemudian ia menambah gerai di Pasir Kaliki. Melihat animo pengunjung cukup tinggi, mulailah Arief melebarkan sayap bisnisnya ke kota-kota besar lain di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Medan, Bali, Balikpapan, dan Batam.

Pada tahun 2008 ini, Arief menargetkan ada 24 gerai Bumbu Desa mulai bercokol di wilayah Nusantara. Setiap gerai dipegang oleh seorang manajer gerai dengan sekitar 70 karyawan untuk melayani 250 tempat duduk. Gerai paling ramai ada di Kelapa Gading. Volume pengunjung setiap weekdays bisa mencapai 600 orang di setiap gerai dan weekend mencapai 1.500 orang.

“Jujur saja, ada sedikit rasa was-was ketika masuk ke kota besar seperti Jakarta. Ada rasa tidak confident. Tapi, rasa ini bercampur dengan optimisme besar bahwa kami akan sukses,” kata bapak tiga anak ini.

Sejak awal, Bumbu Desa membidik segmen menengah-atas, termasuk para eksekutif perusahaan. Segmentasi ini pun memengaruhi strategi harga yang diterapkan. “Di sini, kami memasang harga antara Rp 35 ribu sampai Rp 45 ribu. Dengan uang segitu, orang bisa menikmati makanan yang enak sekaligus menyehatkan,” katanya.

Selain rasa, satu kekuatan lain Bumbu Desa, menurut Arief, terletak pada servis pada pelanggan. Arief menerapkan konsep human relations pada pelanggan. Karena itu, ia mempersiapkan tim dengan mendidik mereka dalam training center selama tiga bulan. Pusat pelatihan ini berada di Garut, Jakarta, dan Bandung. Arief menargetkan sampai akhir tahun ini mempunyai total karyawan sekitar 1.800-an.

Baginya, setiap karyawan dari satpam sampai manager gerai bertugas sebagai marketing perusahaan. Bila ada pelanggan komplain, mereka dididik untuk mendengarkan sampai pelanggan selesai menyampaikan komplain. Mereka tidak boleh membela diri dan harus minta maaf. Usai tamu meninggalkan gerai, dalam 10 menit mereka diharapkan mengirim SMS untuk minta maaf kesekian kali, mengutarakan janji tidak mengulangi kesalahan, dan menyampaikan harapan datang lagi ke gerai. “Cara ini cukup simpatik dan jitu. Ini membuat tamu merasa senang dan malah menjadi pelanggan loyal,” kata lulusan fakultas hukum dari Universitas Parahyangan ini.

Edukasi dan promosi pada pelanggan juga unik. Lantaran memiliki database pelanggan (baik perorangan maupun korporat), Bumbu Desa rajin memberi tahu setiap ada menu baru. Di beberapa gerai, diadakan program sarapan bareng gratis. Bahkan, Bumbu Desa tidak segan-segan mengirimkan menu baru itu kepada ke rumah pelanggan.

Selain itu, Bumbu Desa juga berpromosi melalui print ad, flyer, spanduk, dan word of mouth. Ada pula sistem membership untuk mendapatkan diskon dan prioritas reservasi. Jika akumulasi poin member mencapai angka tertentu, mereka akan mendapat tiket gratis menginap di resor Kampung Sampireun miliknya atau mendapat undian mobil Toyota Avanza seperti yang dilakukan pada tahun kemarin.

Arief melihat Bumbu Desa cukup berkembang pesat mengingat investasi yang tidak kecil untuk setiap cabangnya. Tahun ini, ia menargetkan untuk mengoptimalkan masing-masing cabang, membangun program loyalitas pelanggan, serta mendongkrak awareness konsumen di perkotaan pada Bumbu Desa. Ia pun tidak begitu takut dengan kompetisi.

Sementara itu, tahun 2009, Arief ingin melakukan ekpansi ke luar negeri. Sekarang, sudah ada pihak yang mengundangnya untuk membuka cabang di Singapura dan Shanghai. “Saya ingin menjadikan Bumbu Desa sebagai representasi kuliner Indonesia di mancanegara. Termasuk juga menjadi menu kenegaraan di negeri sendiri,” katanya optimistis.

Sigit Kurniawan | sumber: Majalah Marketing edisi Mei 2008

Read more...

Bus Disulap Jadi Rumah Berjalan

Sudah jadi rahasia umum bahwa moda transportasi kita amat memprihatinkan. Selain karena angka kecelakaan cukup tinggi, servis, keamanan maupun kenyamanannya pun masih rendah. Tapi, sekarang Anda tidak perlu khawatir. Sudah ada bus yang dibuat demi memenuhi kebutuhan akan kenyamanan, keamanan, sekaligus suasana eksklusif. Lupakan saja perjalanan darat yang membosankan. Inilah “cyber bus”, sebuah unit bus yang mengusung konsep entertainment rumah dan kantor.

Perusahaan Otobus (PO) Nusantara mem-branding-kan bus ini dengan sebutan Omah Mlaku. Kata ini dalam bahasa Jawa berarti “rumah berjalan”. Memang demikianlah adanya. Bus ini didesain seperti rumah berjalan. Di dalamnya ada sofa berlapis kulit, kursi pijat elektronik, kamar tidur dengan dua bed, kamar mandi, mini kitchen yang dilengkapi microwave, kulkas mini, lemari, dan meja.

Bukan cuma itu. Penumpang juga bisa menempuh perjalanan sambil berkaraoke-ria. Di dalam bus disediakan perangkat multimedia berupa LCD TV 32 inci plus satu set DVD karaoke dan 2 buah LCD TV 20 inch yang dipasang di kamar tidur dan di sisi belakang ruang utama. Bus ini mampu memuat 10 orang penumpang sesuai dengan batas kenyamanan.

Hebatnya lagi, bus ini dilengkapi dengan perangkat GPS Navigation dan CCTV yang dipasang di bagian depan. Dengan begitu, penumpang yang berada di ruang utama maupun ruang tidur tidak perlu susah payah bertanya pada supir tentang keberadaan bus atau sisa jarak tempuh dari tempat tujuan.

Di samping itu, penumpang dimanjakan pula dengan fasilitas internet. Bus ini difasilitasi dengan teknologi High Speed Downlink Packet Access (HSDPA) atau 3,5 G yang memberikan layanan internet dengan kecepatan sampai 3,6 Mps. Fasilitas ini merupakan hasil kemitraan PO Nusantara dengan PT Indosat Tbk. Oleh karenanya, bus ini akrab dikenal sebagai Cyber Bus. PO Nusantara juga bermitra dengan Baze untuk instalasi sound system.

“Fasilitas internet ini mendukung kinerja kantoran. Mereka bisa melakukan teleconference dengan webcam maupun Voice Over Internet Protocol. Meski sedang melakukan perjalanan jauh, mereka masih bisa melakukan kontak online dengan kantor,” ungkap Andy Darwaman A, IT Manager PO Nusantara.

Menurut Andy, bus tersebut merupakan konsep lama dari Handojo Budianto, Direktur Utama PO Nusantara, setelah terinspirasi dengan berbagai moda transportasi modern di negara-negara Eropa yang pernah ia kunjungi. Eksekusinya dilakukan bertahap. Pada tahun 2005, Handojo mendapat bus baru dengan chasis Volvo special engine dengan tipe B 12M dengan mesin tengah. Menurutnya, saat ini di Indonesia cuma ada satu tipe bus seperti itu. Mesin bus mempunyai volume 12.000 cc dan house power (HP) 420. Tidak lama kemudian, bus ini pun “disulap” oleh kreativitas desain interior PO Nusantara menjadi Omah Mlaku dan di-launching pada Januari 2008.

Diakui Andi, proses eksekusi Cyber Bus ini tidaklah gampang. Beberapa kali konsep ini ditolak oleh sejumlah operator. “Malahan, kami dibilang gila atau aneh-aneh saja membuat bus macam itu di Indonesia. Akhirnya, kami berhasil merangkul Indosat,” katanya.

Untuk sementara ini, status bus ini adalah sewa. Sementara, segmen yang dijadikan target pasar adalah family, korporat maupun instansi pemerintah. Menurut Andy, keluarga bisa mengakses bus ini demi kenyamanan sekaligus keintiman selama perjalanan. Sedang untuk korporat, bisa digunakan oleh menjamu tamu penting perusahaan maupun para eksekutif. “Target dari bus ini tak lain adalah mewujudkan kehendak kami untuk memberi kenyamanan lebih pada penumpang. Ini yang pertama kali ada di Indonesia,” katanya.

Untuk beberapa orang, brand Omah Mlaku terkesan medok (kental) Bahasa Jawanya. Tapi, hal itu memang disengaja. “Kalau kami pakai nama seperti bus lain pada umumnya, itu kurang greget. Kami mau mengusung nuansa klasik,” kata Andi.

Sementara itu, promosi tentang layanan bus dilakukan dengan bekerja sama melalui berbagai media, baik cetak maupun online. Untuk segmen korporat, bus ini dipromosikan kepada seluruh klien PO Nusantara. “Memang, promosi kami tidak terlalu open. Tapi, ada sebuah bank yang mau menyewa bus ini hanya untuk rapat di jalan. Sambutannya cukup antusias. Bahkan, beberapa bulan ini, bus kami sudah full booking,” tegasnya.

Soal harga, Omah Mlaku yang menelan investasi sekitar Rp 2 miliar ini mematok harga rasional sebesar Rp 5 juta per hari (selama 18 jam). Harga ini sudah termasuk supir dan akses fasilitas-fasilitas yang disebut di atas. Namun, harga tersebut tidak termasuk biaya parkir, pajak masuk tempat wisata, dan sebagainya. Untuk sementara, bus ini hanya dioperasikan di wilayah Jawa. “Kalau ditimbang dengan kenyamanan dan fasilitasnya, harga ini lumayan murah. Bahkan, sebelumnya kami pasang harga Rp 7 juta per hari. Kami menargetkan bus ini bisa beroperasi 10-15 kali sebulan,” katanya.

Tanggapan positif terhadap bus ini pun bermunculan. Salah satunya datang dari pengamat transportasi Dharmaningtyas. Menurutnya, keunggulan bus ini adalah kemampuannya menjadi alternatif moda transportasi baru yang menyasar orang yang benar-benar ingin menikmati kenyamanan dalam perjalanan. Meski, untuk kalangan umum, ia melihat animo masyarakat belum tinggi dengan inovasi semacam ini. Sebab, mereka masih mengharapkan moda transportasi murah.

“Tapi, untuk masa-masa tertentu seperti liburan, keluarga bisa menggunakan bus ini untuk mendukung suasana santai dan segar. Saya melihat masyarakat kelas menengah-atas dan eksekutif perusahaan akan tertarik mencoba bus model ini,” katanya.

Tahun ini, PO Nusantara berencana akan merilis satu unit bus lagi yang diformat bagi pasangan yang sedang honeymoon, dengan desain interior dibuat sedemikian rupa agar mendukung suasana romantis. Oleh karena itu, bagi yang ingin berbulan madu dengan cara lain daripada yang lain, boleh juga menjajalnya.

Sigit Kurniawan| Majalah Marketing Mei 2008| Foto: Sigit Kurniawan

Read more...

Quote of Philip Kotler

"Marketing is not the art of finding clever ways to dispose of what you make. It is the art of creating genuine customer value."

[Philip Kotler]

Bus Disulap Jadi Rumah Berjalan

Image Hosted by ImageShack.us
Seperti apakah bila bus, moda transportasi yang jamak digunakan orang, disulap menjadi 'rumah atau kantor' berjalan?read more

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP